-->

Minggu, 03 April 2011

Sebuah Catatan yang Terlupakan...

19 November 2011
         Tak terasa musim salju telah datang menjemputku dengan berjuta partikel dingin. Tapi memang tak seharusnya ia datang seterlambat ini, atau memang ia sudah merubah jadwalnya?. Tetapi anehnya aku belum juga beranjak dari tempat ini. Tiba-tiba ada satu hal yang menyita perhatianku, Jejak kaki ! Jejak-jejak kaki yang tercecer disekitarku membuat ketakutan tersendiri. Aneh memang hal tersebut aku rasakan. Berbeda dengan mereka yang di sebrang. Ku lihat mereka disana sangat menikmati keadaan ini. Huuufft. Mungkin aku harus sedikit rileks untuk bisa hidup sebagaimana mestinya. Dapatkah aku? Cahaya mentari yang menerobos dedaunan yang telah membeku, menguatkan dan meyakinkanku dengan berjuta alasan. Aku terdiam dan percaya.

20 November 2011
         Cahaya yang kemarin menyilaukan bangun tidurku, kini perlahan-lahan hilang. Seolah-olah ia telah mengkhianati janjinya. Aku masih terdiam seperti hari sebelumnya, tetapi apa boleh buat. Keadaan memaksaku untuk diam, tidak bergerak sedikitpun. Kecuali sahabatku angin yang menggerakanku. Sungguh besar jasa sahabatku itu. Percaya atau tidak ia telah mempertemukanku dengan jodoh yang aku idam-idamkan selama ini. Kamipun menjadi keluarga bahagia karenanya.
         Ku lihat anak-anakku, mereka sangat kedinginan. Aku mulai khawatir mereka tak dapat bertahan. Hanya meyelimuti mereka dengan do’a yang dapat kuperbuat. Andai suamiku masih ada, mungkin keadaan menjadi lebih baik. Tapi sayangnya ia telah tiada terlindas oleh mobil besar dipinggir jalan. Aku yang berusaha mengingatkannya hanya terdiam membisu setelah kejadian itu. Dalam hati aku menangis sekencang-kencangnya. Ingin aku keluarkan tangisan ini, tapi tak bisa. Sekali lagi keadaan yang membuatku seperti ini. Sungguh memilukan.
24 November 2011
         Sahabatku angin perlahan-lahan lepas kendali dan emosinya tak terkontrol. Kejadian seperti itu sudah sering terjadi. Entah apa penyebabnya, mungkin ia sedang ada masalah. Pernah suatu hari pacarnya, sang tekanan, berselingkuh dengan cara pergi ke tempat lain dengan sang uap air. Ia marah sejadi-jadinya dan ada satu hal ciri khas jika ia sedang marah, yaitu berputar-putar di satu titik dan membuat semua benda tertarik ke arahnya. Akupun hampir saja ikut terbawa tetapi untungnya ia masih ingat padaku dan berusaha menjauh dariku. Sementara aku hanya terdiam dibawah pelindung kardus ini. Hufffttt.
         Akankah sahabatku angin benar-benar lepas kendali lagi ? Aku tidak tahu tetapi aku harap tidak. Kejadian mengerikan itu jangan sampai terjadi lagi. Aku tidak ingin kehilangan salah satu kaki lagi. Jika aku tidak punya kaki lagi, bagaimana aku akan melindungi anak-anakku ? Bagaimana aku memenuhi tanggung jawabku sebagai ibu ? Bagaimana ? Rasa khawatirku semakin menjadi-jadi ketika sahabatku membawa sang udara dingin bersamanya. Pikiranku semakin kalut dan tak terkendali. Berbagai kejadian mengerikan mengahantui pemikiranku. Aku mulai terkena depresi ringan.
25 November 2011
         Tidak ! Sang angin benar-benar kehilangan kendali. Tetapi untunglah tak separah musim panas dulu. Mungkin beberapa salju menumpakinya sehingga pikirannya sedikit tenang. Tetapi tetap saja itu semua dapat membahayakan anak-anakku. Berbeda dengan musim panas lalu, sahabatku itu tak dapat mengendalikan diri untuk menjauh dariku. Dia menerjang semua wilayah ! Otakku sibuk bekerja mencari cara agar anak-anakku dapat selamat. Bagaimana ini ?? Tak ada ide, tak ada cara. Yang ada hanyalah keputusasaan. Mungkin sudah saatnya aku pasrah dan menggantungkan hidupku pada Tuhan. Beberapa detik sebelum sahabatku menerjang, aku sempat berdo’a dalam hati kecilku, “Tuhanku, aku pasrah. Aku gantungkan hidupku dan hidup anak-anakku pada-Mu. Berilah keadaan yang terbaik untuk kami menurut pandangan-Mu. Karena hal yang menurut kami baik, belum tentu baik menurut-Mu. Begitupun sebaliknya.”. Dia datang !! Tetapi aku sudah siap.
27 November 2011
         Badai telah berlalu. Aku berada dimana ? Apakah di surga ? Tidak, rasanya aku masih bisa melihat seberkas cahaya di ujung sana. Perlahan-lahan aku merangkak walaupun harus menahan rasa sakit. Sakit tak terperi. Dalam perjalanan tersebut aku melihat sosok yang ramah dan selalu mengumbar senyum yang hangat. Sungguh tidak asing lagi pemandangan tersebut. Pemandangan yang selalu menghiasi hari-hari indahku. Ya, sosok itu adalah suamiku. Ini adalah keadaan terbaik yang pernah kualami setelah suamiku tiada dan aku bisa melihat senyum indah itu lagi meskipun hanya sebuah ilusi. Ia berusaha memberiku semangat padaku untuk mencapai cahaya itu. Mungkin ia sadar bahwa anak-anakku sangat membutuhkan kehadiranku. Semangatku meluap-luap. Sungguh tak tertahankan.
         Setelah berhasil mencapai cahaya tersebut, aku perlahan-lahan mendapatkan kembali kesadaranku. Tetapi kenyataan yang kudapat berbanding terbalik dengan ilusi yang ku alami, kenyataan pahit segera menyergapku. Ku lihat salah satu anakku tewas dan tercabut dari dunia tempat ia berpegangan. Aku bingung sekaligus kecewa dengan kenyataan yang kudapat, apa yang harus kuperbuat ? Apakah lebih baik aku kembali kedalam ilusiku ? Sang mentari di sela-sela kabut memberiku sebuah isyarat untuk tidak putus asa atas apa yang terjadi padaku. Ia kembali memberiku sebuah janji manis, ia berjanji akan selalu setia menemaniku untuk melewati musim yang dingin ini. Tetapi anehnya aku tetap saja termakan oleh janji busuk itu.
         Aku hanya bisa membiarkan jasad anakku tergeletak disampingku. Aku benar-benar tak bisa bergerak. Setiap kali aku memandang tubuh itu, air mata menetes membasahi pori-pori kulitku. Hanya pagi hari yang membuatku bisa menguraikan air mata ini.Saat-saat seperti itu tidak akan aku sia-siakan untuk melampiaskan rasa sedih teramat sakit yang menimpaku.
28 November 2011
         Di pagi hari yang kelam, tak terasa seluruh bagian rumahku telah tertutup oleh salju. Ini buruk, sangat buruk. Benda yang kusebut rumah adalah hanya sebuah penutup yang terbuat dari kardus. Ya, manusia yang tinggal disebelah yang memberikannya. Aku tinggal dibawah kardus usang ini sejak aku masih kecil. Tentunya banyak kenangan indah yang kulewati bersama. Jika rumahku telah tertupi oleh salju, bisa saja ia ambruk dan menimpa anak-anakku. Itulah yang hampi terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Tetapi pada tahun ini kondisi rumahku sudah tidak baik lagi, bahkan dapat kukatakan sudah tak layak dipakai lagi. Dan lagi-lagi aku menyalahkan keadaan atas kondisiku ini. Itulah sifat orang yang tak berdaya sepertiku. Harap dimaklumi. Hufffttt.
11 Desember 2011
         Sudah hampir dua minggu berlalu, tetapi rumahku masih bertahan. Syukurlah. Tetapi kekhawatiranku masih berlanjut karena musim salju masih tersisa 1 bulan lagi sebelum ia berlalu. Aku salut pada rumah kardusku. Walaupun telah renta tapi ia masih memiliki semangat juang untuk melindungi anak-anakku. Ucapan rasa terimakasih tak luput pula aku sampaikan pada Tuhanku yang telah memberi hidup lebih lama padaku. Alhamdulillah.
12 Desember 2011
          Sang mentari perlahan-lahan mengkhianatiku. Ia pergi jauh dan membawa sang cahaya ikut bersamanya. Aku geram sekali terhadapnya. Ini kali kedua ia mengkhianatiku, entah apa tujuannya. Mungkin ia mendapat tawaran yang leih baik daripada aku. Sungguh terlalu ! Jika tak ada sang cahaya, bagaimana aku dapat makan dan menyambung hidup anak-anakku ? Mungkin aku juga yang terlampau bodoh mau saja termakan janji busuknya. Lagi-lagi aku mengeluh. Hufffttt.
15 Desember 2011
          Suhu saat ini sekitar -25o Celcius. Nilai yang sangat ekstrim untuk sebuah suhu. Hal tersebut maklumi karena aku tinggal ditempat yang tidak rendah dan ditambah lagi sekarang musim salju. Aku sudah sangat lemah sekali karena sudah tiga hari ini sang mentari tak kunjung balik. Anak-anakku pun sepertinya sama sepertiku. Dalam dua minggu ini aku telah kehilangan dua anakku dan yang tersisa hanyalah dua anak kembar bungsuku. Keadaan mereka sungguh mengkhawatirkan. Semua anggota badannya sudah tak dapat digerakkan. Tapi dari sorot matanya ketika melihatku, aku mengerti bagaimana mereka sangat menderita. Mungkin itu adalah salah satu insting seorang ibu.
17 Desember 2011
          Hari ini adalah hari yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Hari dimana aku gagal memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang ibu. Dua anak kembar bungsuku telah kehilangan nyawa. Walaupun tak dapat bergerak, aku tahu dari tanah tempat mereka terbaring yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Aliran listrik berjuta-juta volt serasa menyentuh tubuhku. Aku sangat terpukul atas kejadian itu dan itu beribu-ribu kali lebih menyakitkan dari kejadian ketika suamiku mengakhiri hidupnya. Sungguh menyakitkan. Tetesan air mataku membeku dan tak dapat kukeluarkan lebih banyak. Tubuhku lemas seketika.
25 Desember 2011
           8 hari aku sendiri tak ada siapa-siapa lagi yang kupunya. Dan keadaan memilukan tersebut bertambah parah ketika aku amati lingkungan sekitarku. Semuanya telah menyerah untuk hidup. Kini aku hanya sendiri di wilayah ini. Sungguh sendiri.
26 Desember 2011
           Sepertinya aku akan mengakhiri hidupku juga dan menyusul mereka. Aku sudah tak tahan lagi. Aku disini sebagai orang yang gagal atas tanggung jawabku. Aku sebagai orang yang terkhianati. Dapatkah aku bertahan hidup ? Tidak ! Tak ada yang dapat membuatku bertahan hidup lagi. Karena aku hanyalah sebuah Lili putih yang tinggal di kaki gunung.

6 komentar:

  1. menarik sekali.. sebuah catatan yang terlupakan namun berada dalam dimensi waktu masa depan (saat ini blum terjadi kalo liat tanggal catatan itu) hhe.. bikin sendiri?? bagus.. :D

    BalasHapus
  2. he..he... makasih... padahal cuma iseng doang neh... -_-
    iya bikin sendiri, itu juga pas lagi ga ada kerjaan... sekedar mencurahkan imajinasi-imajinasi liar...
    he..he..
    thx for visit !!
    sering-sering ya..:D :D

    BalasHapus
  3. hehhe iya, tapi imajinasi kamu itu bisa dikembangin lho.. soalnya cerpennya menarik bgt, dari waktunya, terus cra "penulis" memposisikan diri sebagai ibu yg telah memiliki anak dan suami.. terus detail latarnya jg ok.. hehhe

    ya, sama - sama.. coba deh lanjutin.. :DD

    BalasHapus
  4. makasih...makasih...
    oh gitu ya ?? padahal saya hanya sekedar menulis apa yang ada di pikiran saya aja...
    he..he..
    makasih sekali lagi atas sarannya...
    oke deh saya coba untuk melanjutkan menulis...
    :D :D
    tapi harus cari waktu kosong dulu...ha..ha..

    BalasHapus
  5. Hehehe... bagus... semuanya bagus...terus berkarya... semoga urusannya lancar....

    BalasHapus
  6. he..he... makasih pak... amiin... makasih atas do'anya pak..he...he...
    :D :D

    BalasHapus